Aku adalah seorang perempuan yang
kehilangan separuh jiwaku. Seseorang
yang sangat berharga bagi hidupku, ia pelita bagiku. Parasnya bagaikan rembulan yang menyinari di
setiap hariku, dekapannya membuatku merasa aman, tenang, dan tentram seperti
tak mau beranjak darinya. Tangannya
bagaikan selembut sutera memegang erat di setiap jari-jemariku. Matanya nan indah rasanya ingin terus
memandangnya hingga tak berkedip. Bibirnya yang sering melontarkan kata demi
kata yang mengandung arti tak pernah sedikitpun membuatku bersedih karena
coletahannya dan selalu menebarkan senyuman yang indah.
Ia
adalah kesempurnaan cinta yang sesungguhnya.
Seseorang yang selalu melakukan yang terbaik, serta mengorbankan
hidupnya demi anak kecil yang manja.
Sang pemilik hati yang memiliki jiwa kesabaran, ketangguhan, dan
bercahaya menerangi relung hatinya. Ia
mengandung sembilan bulan, menyusui, merawat, hingga membesarkan anak tanpa
lelah. Ia memberikan semua jiwanya
dengan sepenuh rasa bangga, dan tak terbesit sejenak pikiran lelahnya. Ia adalah Madrasahtul Ula bagi
anak-anaknya. Ia pandai menulis, ia
senang membaca, ia sosok pelita yang cerdas, ia sosok yang baik hati. Aku yakin dengan dilahirkannya oleh seorang
ibu yang cerdas maka anaknya pun akan cerdas seperti ibunya. Ia sang pekerja
keras, selalu membahagiakan anak sang manja dengan berbagai cara yang ia
lakukan. Perannya sangat berarti bagiku
hingga ku beranjak dewasa, dan tak pernah ku lupakan bagaimana ia selalu
mengasihi ku. Ia berjalan dengan penuh
rasa kasih dan sayang, dan ia berjalan menerjang luka-luka.
Di
suatu ketika aku sedang tidak mengerti apa-apa usiaku masih sangat
kanak-kanak. Pelitaku sedang berbaring
di kasur dengan penuh alat-alat medis di sekujur tubuhnya. Ku menangis, ku tak mampu membendung air
mataku ini. Ku tak bisa memeluknya yang
ku hanya bisa memandangi ia di jendela. Pelitaku menebarkan senyuman yang
sangat manis seperti ada pesan yang tersirat di dalamnya. Ia pelitaku yang hebat, yang kuat, ia berjuang
demi anak kecil yang sangat manja. Ia
selalu melontarkan bahwa ia sedang tidak apa-apa, ia baik-baik saja, dan selalu
membuat bahagia di setiap alur cerita yang ia berikan.
Rambutnya
semakin menipis, tubuhnya yang semakin mengecil, matanya yang semakin sayu, dan
kulitnya semakin mengeriput. Semua ini
membuatku merenungkan diri, aku tak mampu kehilangan pelitaku, ia sangat
berharga bagiku, aku tak bisa, aku tak mampu.
Berbagai cara yang ia lakakukan agar dapat kembali bersama sang anak
kecil manja. Semangat yang membara agar
ia tetap bertahan.
Waktu
demi waktu yang dijalani, setiap saatku memandangi sudut rumah sakit dengan
pikiran kosong dan banyak harapan. Ku
pandangi jendela itu, rasanya ingin ku pecahkan kaca-kaca itu. Ku ingin memeluknya, ingin mendekapnya dengan
erat, ku ingin menghapus setiap tetesan air mata yang mengalir di pipinya. Pelitaku sangat amat merasakan betapa
pedihnya ia berbaring, terisolasi dirumah sakit, dan rasa rindu yang sangat mendalam
pada sang anak kecil manja.
Malam
hari, gelap gulita, pelitaku meminta pulang ketempat ia melukiskan berbagai
alur cerita sejak ia masih dikandungan sampai ia besar. Rumah yang sangat sederhana namun baginya
rumah ini sangat berharga banyak skenario yang pernah ia rasakan. Aku datang di pagi hari, ternyata aku tak
mampu untuk menerima kenyataan, terasa mimpi bagiku. Aku berteriak, aku menangis, dada ini terasa
ada yang mencekam, setiap hembusan nafas ini perlahan-lahan tak mampu, jantung
ini berdebar dengan cepat, dan sekujur tubuhku sangat lemas. Banyak yang mendekap ku dan penuh dengan
tetesan air mata. Mata air tak mampu
membendungnya. Pelitaku telah pergi
selamanya, Tuhan lebih sayang kepadanya.
Pelitaku terbujur kaku, tubuh pelitaku sangat dingin tak seperti
biasanya, pelitaku pergi dengan senyuman yang lebar seperti tak ada beban dan
rasa sakit ia rasakan lagi. Ku tak bisa
memandangi ia lagi, ku tak bisa melihat senyumannya yang indah bagaikan bunga
sedang bermekaran. Ku tak bisa tertawa
dengan terbahak-bahak lagi, ku tak bisa mendekapmu dengan erat lagi, ku tak
bisa melihat matamu yang penuh dengan cahaya.
Ia pelitaku telah pergi meninggalkan anak sang manja, meninggalkan
cerita yang sangat indah.
Separuh jiwaku
telah hilang, hidup tak bergairah, perjalanan yang sudah cukup jauh, itu semua
hancur. Ia adalah ibuku yang ku ibaratkan sosok pelita, ia adalah segala dari
cahaya, kasihmu yang sangat begitu tulus dengan sepenuh jiwamu hingga kau
menghembuskan nafas terakhirmu. Kau
pelitaku, jejak, cerita yang terukir dalam tinta sejarah. Banyak dedikasi yang kau berikan semasa
hidupmu. Berkatmu aku menjadi sosok
perempuan yang kuat, berkatmu anak kecil yang manja menjadi perempuan yang
cerdas, itu semua berkatmu pelitaku.
Mungkin, rasa rindu tak mampu ku jelaskan dengan kata-kata indah, doaku
setiap saat menyertaimu pelitaku.
Pesanku untuk kalian yang mempunyai orang tua yang masih utuh. Jagalah mereka, muliakanlah mereka, karena kita sebagai insan tidak tau kapan ajal menjemput. Berkatnya kita mampu bertahan hingga detik ini. Rasa kasih sayang yang tulus akan terus mengalir seperti air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar