Jumat, 03 April 2020

PELITA BAGIKU

           Aku adalah seorang perempuan yang kehilangan separuh jiwaku.  Seseorang yang sangat berharga bagi hidupku, ia pelita bagiku.  Parasnya bagaikan rembulan yang menyinari di setiap hariku, dekapannya membuatku merasa aman, tenang, dan tentram seperti tak mau beranjak darinya.  Tangannya bagaikan selembut sutera memegang erat di setiap jari-jemariku.  Matanya nan indah rasanya ingin terus memandangnya hingga tak berkedip. Bibirnya yang sering melontarkan kata demi kata yang mengandung arti tak pernah sedikitpun membuatku bersedih karena coletahannya dan selalu menebarkan senyuman yang indah.
            Ia adalah kesempurnaan cinta yang sesungguhnya.  Seseorang yang selalu melakukan yang terbaik, serta mengorbankan hidupnya demi anak kecil yang manja.  Sang pemilik hati yang memiliki jiwa kesabaran, ketangguhan, dan bercahaya menerangi relung hatinya.  Ia mengandung sembilan bulan, menyusui, merawat, hingga membesarkan anak tanpa lelah.  Ia memberikan semua jiwanya dengan sepenuh rasa bangga, dan tak terbesit sejenak pikiran lelahnya.  Ia adalah Madrasahtul Ula bagi anak-anaknya.  Ia pandai menulis, ia senang membaca, ia sosok pelita yang cerdas, ia sosok yang baik hati.  Aku yakin dengan dilahirkannya oleh seorang ibu yang cerdas maka anaknya pun akan cerdas seperti ibunya. Ia sang pekerja keras, selalu membahagiakan anak sang manja dengan berbagai cara yang ia lakukan.  Perannya sangat berarti bagiku hingga ku beranjak dewasa, dan tak pernah ku lupakan bagaimana ia selalu mengasihi ku.  Ia berjalan dengan penuh rasa kasih dan sayang, dan ia berjalan menerjang luka-luka.
            Di suatu ketika aku sedang tidak mengerti apa-apa usiaku masih sangat kanak-kanak.  Pelitaku sedang berbaring di kasur dengan penuh alat-alat medis di sekujur tubuhnya.  Ku menangis, ku tak mampu membendung air mataku ini.  Ku tak bisa memeluknya yang ku hanya bisa memandangi ia di jendela. Pelitaku menebarkan senyuman yang sangat manis seperti ada pesan yang tersirat di dalamnya.  Ia pelitaku yang hebat, yang kuat, ia berjuang demi anak kecil yang sangat manja.  Ia selalu melontarkan bahwa ia sedang tidak apa-apa, ia baik-baik saja, dan selalu membuat bahagia di setiap alur cerita yang ia berikan.
            Rambutnya semakin menipis, tubuhnya yang semakin mengecil, matanya yang semakin sayu, dan kulitnya semakin mengeriput.  Semua ini membuatku merenungkan diri, aku tak mampu kehilangan pelitaku, ia sangat berharga bagiku, aku tak bisa, aku tak mampu.  Berbagai cara yang ia lakakukan agar dapat kembali bersama sang anak kecil manja.  Semangat yang membara agar ia tetap bertahan.
            Waktu demi waktu yang dijalani, setiap saatku memandangi sudut rumah sakit dengan pikiran kosong dan banyak harapan.  Ku pandangi jendela itu, rasanya ingin ku pecahkan kaca-kaca itu.  Ku ingin memeluknya, ingin mendekapnya dengan erat, ku ingin menghapus setiap tetesan air mata yang mengalir di pipinya.  Pelitaku sangat amat merasakan betapa pedihnya ia berbaring, terisolasi dirumah sakit, dan rasa rindu yang sangat mendalam pada sang anak kecil manja.
            Malam hari, gelap gulita, pelitaku meminta pulang ketempat ia melukiskan berbagai alur cerita sejak ia masih dikandungan sampai ia besar.  Rumah yang sangat sederhana namun baginya rumah ini sangat berharga banyak skenario yang pernah ia rasakan.  Aku datang di pagi hari, ternyata aku tak mampu untuk menerima kenyataan, terasa mimpi bagiku.  Aku berteriak, aku menangis, dada ini terasa ada yang mencekam, setiap hembusan nafas ini perlahan-lahan tak mampu, jantung ini berdebar dengan cepat, dan sekujur tubuhku sangat lemas.  Banyak yang mendekap ku dan penuh dengan tetesan air mata.  Mata air tak mampu membendungnya.  Pelitaku telah pergi selamanya, Tuhan lebih sayang kepadanya.  Pelitaku terbujur kaku, tubuh pelitaku sangat dingin tak seperti biasanya, pelitaku pergi dengan senyuman yang lebar seperti tak ada beban dan rasa sakit ia rasakan lagi.  Ku tak bisa memandangi ia lagi, ku tak bisa melihat senyumannya yang indah bagaikan bunga sedang bermekaran.  Ku tak bisa tertawa dengan terbahak-bahak lagi, ku tak bisa mendekapmu dengan erat lagi, ku tak bisa melihat matamu yang penuh dengan cahaya.  Ia pelitaku telah pergi meninggalkan anak sang manja, meninggalkan cerita yang sangat indah. 
Separuh jiwaku telah hilang, hidup tak bergairah, perjalanan yang sudah cukup jauh, itu semua hancur. Ia adalah ibuku yang ku ibaratkan sosok pelita, ia adalah segala dari cahaya, kasihmu yang sangat begitu tulus dengan sepenuh jiwamu hingga kau menghembuskan nafas terakhirmu.  Kau pelitaku, jejak, cerita yang terukir dalam tinta sejarah.  Banyak dedikasi yang kau berikan semasa hidupmu.  Berkatmu aku menjadi sosok perempuan yang kuat, berkatmu anak kecil yang manja menjadi perempuan yang cerdas, itu semua berkatmu pelitaku.  Mungkin, rasa rindu tak mampu ku jelaskan dengan kata-kata indah, doaku setiap saat menyertaimu pelitaku. 

Pesanku untuk kalian yang mempunyai orang tua yang masih utuh.  Jagalah mereka, muliakanlah mereka, karena kita sebagai insan tidak tau kapan ajal menjemput.  Berkatnya kita mampu bertahan hingga detik ini.  Rasa kasih sayang yang tulus akan terus mengalir seperti air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wanita yang Dirindukan Surga

Assalamualaikum sobat pena. Ternyata jemariku sudah lama tidak menulis disecarik kertasku, entah apa yang membuat diri ini tidak bersemang...